Total Tayangan Halaman

Jumat, 28 Januari 2011

darah itu merah jendral

akrab dengan kalimat ini? atau pernah dengar tapi tidak tahu siapa yang mengatakannya? jika demikian, berarti anda sama seperti saya! karena setelah bertahun – tahun mengenal kalimat pamungkas itu bersama dengan kalimat – kalimat lain sejenisnya (contoh:Jakarta itu keras bung!), saya baru mengetahui bahwa kalimat deskripsi tersebut diucapkan oleh salah satu pasukan cakrabirawa yang akan menyiksa salah satu pahlawan revolusi di dalam film G 30 S PKI, pada hari ini, Senin, 1 Oktober 2007, pukul 05.45. Itupun karena saya kebetulan sedang menyaksikan siaran berita di salah satu televisi swasta, yang sedang bertemakan hari Kesaktian Pancasila.
Kalimat itu mengingatkan saya bahwa kemarin, adalah hari yang pada zamannya diperingati sebagai tragedi nasional. Kenapa pada zamannya? karena sudah beberapa tahun sudah tidak diperingati, atau bahkan diingat karena diragukan keabsahan nilai sejarahnya. Banyak yang mengatakan kejadian pada waktu itu, sekitar tahun 1965 hanya direkayasa untuk menunjukkan kepahlawanan salah satu petinggi TNI yang akhirnya menjadi salah satu pemimpin rezim di negara ini. Apakah benar? saya sendiri tidak tahu, saya kan belum lahir…
Tapi, sebagai anak bangsa yang dicekoki pelajaran sejarah tersebut selama nyaris 1 dekade, saya masih dibayangi oleh kesadisan penyiksaan para Jenderal tersebut, yang alkisah disilet, dicungkil bola matanya, dicabut kukunya dan berbagai tindakan keji dan tidak berperikemanusiaan. Jika kita mengunjungi museum Lubang Buaya, patung – patung dan diorama yang ada di sana cukup menggambarkan apa yang disebut ‘tragedi’.
Namun, terdapat perkembangan terbaru dari kisah tersebut. Dokter yang mengotopsi jenasah almarhum D.I. Pandjaitan dkk 30 tahun yang lalu menyatakan bahwa tidak terdapat tanda – tanda penyiksaan biadab yang selama ini dikabarkan, walaupun penyiksaan benda tumpul dan bekas penembakan terlihat dari hasil otopsi tersebut. Pernyataan ini disampaikan oleh murid sang dokter forensik yang sudah berusia 82 tahun. Prof Arief B, demikian nama dokter tersebut merasa masyarakat telah dibohongi oleh fakta – fakta yang beredar dalam kurun waktu 3 dasawarsa tersebut. Dan sesungguhnya,kebohongan yang diceritakan berulang – ulang akan menjadi sebuah kebenaran.
Jika benar semua penyiksaan itu bohong belaka, betapa tidak adilnya perlakuan pemerintah yang memberangus aktivis PKI yang dianggap dalang dari G 30 S PKI. Bahkan keturunan mereka pun mengalami pengucilan dan kesulitan bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Belum lagi korban salah tangkap, yang nyaris dialami oleh keluarga ibu saya yang kebetulan salah satu adiknya mempunyai nama yang berbau Rusia, akar dari gerakan komunis dunia. Dan hari kesaktian Pancasila tidak perlu diperingati, karena Pancasila tidak terancam oleh ideologi tertentu (namun terancam olehsyahwat kekuasaan segelintir orang).
Lalu, apa kebenarannya? apakah memang terjadi gerakan makar terhadap Pancasila? apakah pemimpin rezim terlama di Indonesia lah yang merekayasa sebuah rangkaian sejarah palsu demi kepentingan pribadi?
Mengutip salah satu prajurit TNI yang diwawancarai oleh televisi swasta yang saya sebut sebelumnya mengenai kebenaran peristiwa G 30 S PKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar